Selasa, 05 April 2016

Chapter 4 : Pengalaman mengikuti PAPs UGM

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 24 Maret 2016 saya mengikuti tes PAPs UGM. Tujuannya? Hehe tentu saja sebagai syarat untk masuk pasca sarjana UGM tahun ini. Lho? Trus sekolah ke jepangnya? Hehe.. masih tetap saya perjuangkan ko! Tenang saja. Untuk tahun ini memang saya mempersiapkan 2 hal. Yaitu monbusho 2017 dan masuk pasca sarjana UGM tahun ini. Entah mana yang nantinya yang terbaik yang harus saya jalani itu tidak penting bagi saya. Saat ini saya hanya fokus untuk melakukan persiapan terbaik untuk melanjutkan pendidikan saya. Yang manapun hasilnya nanti (dalam ataupun luar negeri) bagi saya tak masalah. Saya yakin itulah rejeki terbaik bagi saya.

Ok well, balik ke ujian PAPs UGM. Jujur ini pertama kalinya saya ikut tes TPA. Katanya sih mirip mirp sama tes psikologi seleksi karyawan, tapi setelah saya telusuri lebih lanjut ternyata memang mirip tapi tetap berbeda. Persamaannya mungkin model soalnya sama: verbal, numerik dan logika. Tapi dari segi porsi,bobot soal dan temanya jelas beda jauh. TPA lebih.. apa ya? Akademik sekali (ya iyalah!). 
Awalnya saya ngerasa kurang pede. Bisa gak ya saya mengerjakan soal soal semacam ini, apalagi saya lack di matematika. Kalau menghitung matematika secara manual seringnya lola, maklum terakhir menghitung matematika secara manual adalah di tingkat SMP, ketika sekolah menengah dan perguruan tinggi saya biasa menggunakan scientific calculator untuk menyelesaikan soal matematika yang cenderung kepada matematika fisika dan statistik. Tapi se tidak sukanya saya dengan matematika,mau tidak mau saya harus memaksa diri untuk belajar TPA. Selama satu bulan saya berjibaku memaksa membuka kembali folder folder ingatan lama saya tentang matematika.

Jumat, 01 April 2016

Chapter 3 : Fall 4 times, stand up for 5

Sepertinya sudah berbulan bulan lalu sejak saya memposting artikel terakhir.. oh bukan sepertinya lagi tapi memang fakta ya? hehe.
Saya sebenarnya cukup suka menuliskan berbagai pengalaman yang saya anggap cukup berarti dalam kehidupan saya. Tapi nampaknya, mungkin, saya belum siap untuk menulis saat itu.
Setelah beberapa bulan berlalu (memulihkan diri dari hancurnya hati),akhirnya saya baru bisa menata hati kembali. Mungkin mengingat kembali suatu kegagalan adalah bagian dari proses penerimaan.

Bagi banyak orang apa yang akan saya ceritakan di postingan saya kali ini bukan hal yang cukup mengesankan untuk dibaca karena yang terjadi adalah hanya rentetan kegagalan demi kegagalan dalam usaha saya mencari beasiswa ke Jepang. Namun sepertinya, bisa jadi kegagalan yang saya alami ini bisa menjadi pelajaran atau motivasi  untuk saya pribadi di masa mendatang. Ketika saya throw back at time kelak, saya ingat bahwa ada suatu masa dimana saya menjadi seseorang yang begitu ‘keukeuh’ dalam memperjuangkan apa yang ingin saya raih karena sebelumnya saya bukan tipe orang yang punya will power (baca : ambisius dan keras kepala) seperti ini. 
So, semoga pengalaman ini bisa membuat saya lebih termotivasi agar apa yang nantinya saya lakukan dalam hidup saya bisa lebih ada will powernya,jadi usaha yang dilakukan juga bisa lebih greget.

Well daripada makin curhat baper, let me start the continuation story after August 2015.